DISQUS SHORTNAME

Pembelajaran Kimia kelas XI

Senyawa organik mengandung atom karbon dalam molekulnya. Atom karbon memiliki beberapa sifat khas sehingga memiliki kelimpahan yang besar di alam. Yuk kepoin aeperti apa penjelasannya.

Kegiatan Pembelajaran 2

Senyawa Hidrokarbon dapat dibedakan menjadi alkana, alkena dan alkuna. Ingin tahu seperti apa bedanya dan bagaimana cara pemberian namanya? Yuk di cek!.

Modul 1.1 PGP Angkatan 3

Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara.

Tuesday, March 15, 2022

CATATAN SIPENGGERAK: EKSPLORASI KONSEP MODUL 3.3 PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK PADA MURID

 

Kepemimpinan Murid (Student Agency)

Apakah kepemimpinan murid  ?

Dari paket modul 1 dan 2 sebelumnya, Bapak/Ibu telah belajar bahwa murid harus menjadi dasar bagi semua pengambilan keputusan yang kita buat di sekolah. Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid,  kita harus secara sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran murid sehingga mampu memekarkan mereka sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian, saat kita merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana kita dapat menempatkan murid dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan program/kegiatan pembelajaran tersebut?

 “Sesungguhnya alam-keluarga itu bukannya pusat pendidikan individual saja, akan tetapi juga suatu pusat untuk melakukan pendidikan sosial. Orangtua harus melakukan pendidikan bersama dengan pusat-pusat pendidikan, dan terhubung dengan kaum guru dan pengajar [Ki Hadjar Dewantara dalam Wasita, Tahun ke-1 No.3, Mei 1993]”

Kita semua tentu sepakat bahwa murid-murid kita dapat melakukan lebih dari sekedar menerima instruksi dari guru. Mereka secara natural adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin tahu atau minat terhadap berbagai hal. Lewat rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri. Namun, terkadang guru atau orang dewasa memperlakukan murid-murid seolah-olah mereka tidak mampu membuat keputusan, pilihan atau memberikan pendapat terkait dengan proses belajar mereka. Kadang-kadang kita bahkan tanpa sadar membiarkan murid-murid kita secara sengaja menjadi tidak berdaya (learned helplessness), dengan secara sepihak memutuskan semua yang harus murid pelajari dan bagaimana mereka mempelajarinya, tanpa melibatkan peran serta mereka dalam proses pengambilan keputusan tersebut. 

Agar kita dapat menjadikan murid sebagai pemimpin bagi proses pembelajarannya sendiri, maka kita perlu memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan kapasitasnya dalam mengelola pembelajaran mereka sendiri, sehingga  potensi kepemimpinannya dapat berkembang dengan baik.  Peran kita adalah:

  1. Mendampingi murid agar pengembangan potensi kepemimpinan mereka tetap sesuai dengan kodrat, konteks dan kebutuhannya.
  2. Mengurangi kontrol kita terhadap mereka

Saat murid memiliki kontrol atas apa yang terjadi, atau merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi sebuah situasi inilah, maka murid akan memiliki apa yang disebut dengan “agency”.  Agency berasal dari bahasa inggris yang diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk mempengaruhi fungsi dirinya dan arah jalannya peristiwa melalui  tindakan yang dibuatnya. Murid mendemonstrasikan “student agency”  ketika mereka mampu mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan rasa ingin tahu, berpartisipasi dan berkontribusi pada komunitas belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka kepada orang lain, dan melakukan tindakan nyata sebagai hasil proses belajarnya.

Mengingat bahwa kata agency ini belum ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, maka untuk kepentingan pembahasan di dalam modul ini, maka istilah student agency ini selanjutnya akan diterjemahkan sebagai “kepemimpinan murid”.

Jika kita mengacu pada OECD (2021), ‘kepemimpinan murid’ berkaitan dengan pengembangan identitas dan rasa memiliki. Ketika murid mengembangkan agency, mereka mengandalkan motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset (pemahaman bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi diri mereka menuju kesejahteraan lahir batin (wellbeing). Hal inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk bertindak dengan memiliki tujuan, yang membimbing mereka untuk berkembang di masyarakat.

Konsep kepemimpinan murid  sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan. Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak  secara aktif; dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain. Ketika murid menjadi agen dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara natural mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar). Keterampilan belajar ini adalah sebuah keterampilan yang sangat penting, yang dapat dan akan mereka gunakan sepanjang hidup mereka.

Saat murid menjadi pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran mereka sendiri, maka hubungan yang tercipta antara guru dengan murid akan mengalami perubahan, karena hubungannya akan menjadi bersifat kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat kemitraan ini, saat murid belajar mereka akan:

  • berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran yang ingin dicapainya
  • menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran
  • menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran mereka sendiri.
  • menunjukkan rasa ingin tahu
  • menunjukkan inisiatif
  • membuat pilihan-pilihan tindakan
  • memberikan umpan balik kepada satu sama lain.

 Di sisi lain, guru yang akan mengambil peranan sebagai mitra murid dalam belajar akan:

  • berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati dan menanggapi ide-ide, pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif  murid-murid mereka.
  • memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid mereka untuk memastikan  proses pembelajaran sesuai untuk mereka.
  • mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka dengan memberi mereka tugas-tugas terbuka.
  • menawarkan kesempatan kepada murid untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil risiko.
  • mempertimbangkan sejauh mana tingkat bantuan yang harus diberikan kepada murid berdasarkan informasi yang mereka miliki
  • menunjukkan minat dan keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap aktivitas murid untuk memperluas pemikiran mereka.

 Untuk lebih memahami konsep kepemimpinan murid, Bapak/Ibu dapat membaca tabel berikut ini.




Kepemimpinan Murid dan Profil Pelajar Pancasila

Populasi manusia Indonesia usia sekolah di masa sekarang, dalam 10-15 tahun mendatang akan menjadi populasi terbanyak dan mendominasi usia produktif masyarakat Indonesia. Ini sering kita sebut sebagai bonus demografi jika saja kita dapat menumbuhkan manusia produktif Indonesia yang berkarakter baik. Namun sebaliknya, jika karakter yang bertumbuh adalah justru karakter buruk, maka “kutukan” demografi-lah yang akan Indonesia dapatkan. Profil Pelajar Pancasila sebenarnya adalah visi dan harapan Indonesia untuk karakter warganya di masa mendatang. Profil Pelajar Pancasila adalah muara dari konsep merdeka belajar dan pemelajar sepanjang hayat yang ingin dibangun lewat upaya penumbuhkembangan kepemimpinan murid. Melalui upaya menumbuhkembangkan kepemimpinan murid kita menyediakan kesempatan murid untuk mengembangkan profil positif dirinya, yang kemudian diharapkan dapat  mewujud sebagai pelajar Pancasila yang tidak hanya menjadi pribadi yang merdeka, namun juga menjadi pribadi yang memerdekakan bangsanya.    

Jika kita telaah lebih lanjut, dengan menumbuhkembangkan kepemimpinan murid maka secara bersamaan kita sebenarnya juga membangun karakter murid yang:

  • beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan mendorong murid mengembangkan berbagai sikap-sikap positif yang merupakan pengejawantahan dari iman, ketakwaan dan akhlak mulia.
  • berkebinekaan global. Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan melatih murid-murid kita untuk memiliki  pemikiran dan wawasan yang terbuka. Mereka akan terbiasa untuk melihat perbedaan, menghargai beragam perspektif sehingga diharapkan dapat hidup ditengah-tengah masyarakat yang majemuk, yang mampu menghadapi perbedaan dan perubahan, baik dalam lingkup lokal maupun global. 
  • mampu bergotong royong. Kepemimpinan murid memungkinkan murid  untuk terlibat dan berinteraksi dengan orang lain, bekerjasama dan berkontribusi dalam masyarakat yang lebih luas.
  • mandiri. Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid mendorong murid untuk mengambil kontrol dan bertanggung jawab pada proses pembelajarannya sendiri.
  • dapat berpikir kritis. Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid mendorong murid untuk memiliki kemampuan berpikir kritis karena mereka akan belajar untuk  membuat pilihan dan membuat keputusan yang bertanggung jawab. 
  • kreatif. Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid memungkinkan murid untuk terekspos pada pengalaman belajar otentik yang menuntut mereka untuk mampu melihat permasalahan dan secara kreatif berusaha mencari solusi atas  permasalahan tersebut.

Suara Murid, Pilihan Murid, dan Kepemilikan Murid

Saat murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri (atau kita katakan: saat murid memiliki agency, maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran mereka. Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid kemudian mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya sendiri.  Tugas kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka.

Lalu, Apa sebenarnya yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid?  Mari kita bahas satu persatu ketiga aspek tersebut:

1.     Suara Murid (voice) 

Ketika kita berbicara tentang “suara” murid, maka kita sebenarnya bukan hanya berbicara tentang memberi murid kesempatan untuk mengomunikasikan ide dan pendapat. Lebih luas dari ini, mempertimbangkan suara murid adalah tentang bagaimana kita memberdayakan murid kita agar memiliki kekuatan untuk memengaruhi perubahan. Suara murid yang otentik memberikan kesempatan bagi murid untuk berkolaborasi dan membuat keputusan dengan orang dewasa seputar apa dan bagaimana mereka belajar dan bagaimana pembelajaran mereka dinilai.

Mempromosikan suara murid dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam banyak cara.  Suara murid dapat ditumbuhkan melalui diskusi, membuka ruang ekspresi kreatif, memberi pendapat, merelevansikan pembelajaran secara pribadi, dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa contoh  mempromosikan “suara  murid”:

  1. Membangun budaya saling mendengarkan.
  2. Membangun kepercayaan diri murid bahwa setiap suara berharga dan layak didengar.
  3. Memberikan kesempatan murid untuk bertanya, memberikan pendapat, berdiskusi.
  4. Mendiskusikan keyakinan kelas dan membuat kesepakatan kelas.
  5. Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap proses belajar yang telah dilakukan.
  6. Melibatkan murid dalam menyusun kriteria penilaian.
  7. Melibatkan murid dalam perencanaan pembelajaran.
  8. Membentuk dewan murid atau komite-komite yang anggotanya adalah murid untuk memberikan masukan kepada sekolah tentang berbagai hal.
  9. Membuat daftar rutinitas bersama murid. Mintalah masukan murid untuk mengembangkan rutinitas seputar apa yang harus dilakukan saat tiba di kelas, saat berganti/transisi antar pelajaran, sinyal-sinyal komunikasi yang disepakati, rapat kelas, dsb.
  10. Melakukan survei untuk mengetahui alat permainan apa yang mereka inginkan ada di halaman sekolah.
  11. Memberikan kesempatan murid menentukan menu kantin.
  12. Membuat kotak saran untuk memberikan murid memberikan saran dan masukan tentang sekolah.
  13. Melakukan kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Mengidentifikasi masalah dunia nyata yang menarik bagi murid dan kemudian memberi kesempatan mereka untuk  bekerja sama dan bertukar pikiran tentang strategi dan solusi untuk permasalahan tersebut.
  14. Membuat blog murid dan majalah dinding untuk menyuarakan aspirasi dan kreativitas murid.
  15. Dapatkah Bapak/Ibu menyebutkan contoh lainnya?

 

2. Pilihan Murid (Choice) 

Penelitian yang dilakukan oleh Aiken, Heinze, Meuter, & Chapman, (2016)  dan Thibodeaux et al. (2017) menyimpulkan bahwa jika kita menginginkan murid-murid kita mengambil peran tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, maka kita harus memberikan murid  kesempatan untuk memilih apa dan bagaimana mereka akan belajar.  Memberikan pilihan pada murid dapat memberdayakan murid, mendorong keterlibatan dalam pembelajaran, dan mengenalkan pada minat pribadi dalam pengalaman belajar (Aiken et al, 2016).   Selain itu, memberikan murid pilihan juga meningkatkan motivasi dan otonomi murid, yang dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid (Bandura, 1997). 

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana guru dapat memberikan murid-murid ‘pilihan’ dalam proses belajar mereka?  Ada banyak cara yang dapat dilakukan.  Berikut ini adalah beberapa contoh  bagaimana guru dapat mendorong dan menyediakan “pilihan” bagi murid-muridnya.

  1. Membuka cakrawala murid bahwa ada berbagai pilihan atau alternatif yang dapat dijadikan bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah keputusan.
  2. Memberikan kesempatan bagi murid untuk memilih bagaimana mereka mendemonstrasikan pemahamannya tentang apa yang telah mereka pelajari.
  3. Memberikan kesempatan pada murid untuk memilih peran yang dapat mereka ambil dalam sebuah kegiatan/program.
  4. Memberikan murid  kesempatan untuk memilih kelompok.
  5. Memberikan kesempatan murid untuk mengelola  pengaturan kegiatan.
  6. Menggunakan musyawarah untuk mengambil keputusan, atau jika memang diperlukan melalui voting,  untuk memprioritaskan langkah tindakan atau aktivitas berikutnya. Misalnya saat ingin belajar tentang topik tertentu, guru dapat mendiskusikan dan membuat daftar kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan, kemudian meminta murid untuk memilih mana yang ingin mereka lakukan lebih dulu.
  7. Mengajak OSIS membuat daftar kegiatan (event), dan memberikan kesempatan untuk memilih mana kegiatan yang ingin mereka lakukan di tahun ajaran ini.
  8. Memberi kesempatan pada murid untuk menentukan sendiri bentuk penugasan yang mereka inginkan.
  9. memberikan kesempatan pada murid untuk mempresentasikan hasil kerja/proyek sesuai dengan gaya , minat dan bakat mereka
  10. memberikan kesempatan pada murid untuk menggali sumber-sumber belajar sesuai minat mereka.
  11. memberikan kesempatan pada murid untuk mengevaluasi pembelajarannya.
  12. memberikan kesempatan pada murid untuk menentukan rencana, jadwal atau agenda dalam melaksanakan pembelajarannya.

Dapatkah Bapak/Ibu memberikan contoh lainnya?

 3. Kepemilikan Murid (ownership)

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa saat murid  berada dalam kursi kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajarnya.

Voltz DL, Damiano-Lantz M. dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing Ownership in Learning. Teaching Exceptional Children (1993;25(4):18-22) menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar (ownership in learning) sebenarnya mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan minat pribadi seseorang dalam proses belajar.  Jadi dengan kata lain, saat murid terhubung (baik secara fisik, kognitif, sosial emosional) dengan apa yang sedang dipelajari, terlibat aktif dan menunjukkan minat dalam proses belajarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka terhadap proses belajar tinggi.

Berikut ini adalah beberapa contoh  mempromosikan “kepemilikan  murid”:

  • Mengajak murid mengatur layout kelas mereka sendiri.
  • Meminta pendapat murid untuk menentukan bentuk penugasan.
  • Merespon umpan balik yang diberikan murid.
  • menciptakan lingkungan belajar di mana murid dapat menetapkan tujuan belajar dan kriteria keberhasilan mereka sendiri, dan memantau dan menyesuaikan pembelajaran mereka..
  • Memulai pembelajaran dengan menanyakan kepada murid apa yang mereka ketahui tentang topik tersebut dan mendiskusikan tentang pengalaman murid tentang topik ini serta apa yang mereka minati tentang pembelajaran.
  • Memosting ide siswa (dengan seizin murid sebagai bagian dari menghargai dan menghormati kepemilikan murid )
  • Mengkondisikan lingkungan fisik yang mendukung kepemilikan. Misalnya membuat papan buletin, yang dapat digunakan murid untuk menampilkan informasi tentang pekerjaan mereka, kesuksesan mereka, dsb.
  • Mengajak murid untuk mengatur kelas mereka sendiri.
  • Memajang pekerjaan-pekerjaan murid di kelas.
  • Melakukan self assessment
  • Membuat sudut murid di salah satu bagian sekolah, kemudian memberikan jadwal untuk setiap kelas untuk melakukan sesuatu di sudut tersebut.
  • Memberi kesempatan murid membawa sumber-sumber pembelajaran yang mungkin mereka miliki dan meminta mereka berbagi.

Untuk menumbuhkan kepemimpinan murid dalam proses belajar, ketiga aspek tersebut perlu dipertimbangkan dengan baik oleh guru.  Pilihan murid menjadi penting agar murid dapat mengambil kepemilikan atas pembelajaran mereka. Melalui pilihan dan kepemilikan, suara mereka dapat diwujudkan.  Perlu diperhatikan bahwa ketiga aspek ini tidak dapat berada di lingkungan yang tidak terstruktur  Ketiga aspek ini harus disematkan dengan hati-hati dalam lingkungan belajar yang menumbuhkembangkan elemen-elemen tersebut secara otentik. Lingkungan belajar yang seperti ini akan mensyaratkan seluruh anggota komunitas untuk ikut terlibat dalam prosesnya.

Contoh Program/Kegiatan Sekolah yang Mempromosikan, suara (voice), Pilihan dan Kepemilikan Murid

Untuk lebih memperdalam pemahaman Bapak/Ibu terkait dengan elemen pilihan, kepemilikan dan suara ini, silahkan Bapak/Ibu lihat beberapa contoh program atau kegiatan sekolah yang disajikan dalam narasi situasi dan video berikut ini.

Situasi 1 

Bu Dian mengajar di Kelas 1 SD. Di awal tahun ajaran baru ia ingin melibatkan murid-muridnya mengatur sendiri ruang kelas mereka. Bu Dian ingin murid-muridnya memiliki  rasa kepemilikan terhadap kelas mereka sehingga mereka akan secara sadar menjaga dan memelihara kelasnya dengan baik. Ia kemudian meminta murid-muridnya untuk bekerja kelompok merancang layout kelas. Setiap kelompok diberikan selembar kertas dan mendiskusikan lalu memutuskan dimana mereka akan meletakkan loker, kursi, meja, tempat sampah, keranjang buku, lemari buku, meja guru, dsbnya.  Karena murid-murid kelas 1 belum bisa menulis, maka mereka boleh menggambar.  Setelah itu setiap kelompok akan menjelaskan layout kelas kelompok mereka di depan kelas. Murid-murid lain dapat memberikan pertanyaan tentang layout tersebut. Setelah semua kelompok melakukan presentasi, mereka kemudian harus memutuskan layout mana yang akan dipilih untuk diimplementasikan. Setelah dilakukan pemilihan, terpilihlah satu layout yang paling ingin diimplementasikan oleh murid di kelas tersebut. Namun, Ibu Dian lalu menyadari bahwa layout pilihan tersebut menurut kacamata dia sebagai guru sepertinya adalah layout yang “paling sulit untuk dilakukan dan paling tidak efektif”. Namun karena itu yang paling banyak dipilih, dan karena Ibu Dian ingin menghargai pilihan murid,  Ibu Dian tetap mewujudkan layout tersebut. Setelah beberapa hari mengimplementasikan layout tersebut, Ibu Dian bertanya kepada murid-muridnya “apakah menurut kalian, layout ini membantu kalian untuk belajar, bergerak dan berinteraksi dengan baik di kelas?”. Bu Dian  memberikan pertanyaan-pertanyaan reflektif untuk membantu siswa berefleksi. Ternyata murid-murid Ibu Dian juga merasa bahwa layout tersebut tidak efektif. Ada yang yang bilang tempat sampahnya ternyata kejauhan. Atau ternyata letak lemari bukunya menghalangi orang  untuk melihat ke luar jendela. Setelah melakukan refleksi, Ibu Dian lalu mengajak murid-muridnya untuk memberikan saran bagaimana agar layout kelas mereka bisa lebih efektif. Berdasarkan masukan murid-murid, di minggu berikan layout kelas mereka pun diubah kembali menjadi lebih efektif.

 Situasi 2 

Murid-murid Pak Waluyo, guru Kelas 5 SD, sedang mempelajari sebuah unit pembelajaran tentang “Pesawat Sederhana”. Mereka mempelajari tentang konsep “gaya fisika” dan berbagai alat bantu sederhana  (misalnya tuas, katrol,  bidang miring, dsb.) yang dapat memudahkan pekerjaan manusia. Mereka juga mempelajari tentang kerja pesawat sederhana. Salah satu kegiatan belajar yang dilakukan Pak Waluyo adalah mengajak murid menemukan berbagai contoh pesawat sederhana yang ada atau digunakan di sekolah mereka, misalnya seperti perosotan, jungkat-jungkit, bidang miring, dan lain-lain. Murid-murid juga diajak untuk mendiskusikan bagaimana pesawat sederhana tersebut bekerja. Mereka pun melanjutkan diskusi dan pembelajaran di kelas dengan melakukan riset, eksperimen, dsb, baik dalam bentuk kerja kelompok maupun individual. Sebagai tugas sumatif, mereka mendapatkan tugas kelompok berupa proyek merancang sebuah model alat, yang mengaplikasikan konsep-konsep terkait  pesawat sederhana untuk menyelesaikan permasalahan di sekolah mereka. Jadi murid diminta untuk mengidentifikasi permasalahan yang ingin dipecahkan, pesawat sederhana yang dapat digunakan, membuat desain modelnya dengan bahan-bahan bekas dan sederhana, kemudian mempresentasikannya. Usai sesi presentasi dan refleksi bersama, Pak Waluyo kemudian kembali mengundang murid untuk berpikir soal aksi nyata yang dapat mereka lakukan dengan pengetahuan “pesawat sederhana” yang baru saja mereka pelajari, untuk menyelesaikan permasalahan di tengah masyarakat dan lingkungan sekitar mereka. Dalam proses ini, masalah, ide, rencana, inovasi solusi, dan eksekusinya diserahkan kepada murid untuk dikerjakan secara mandiri dengan dukungan Pak Waluyo sebagai guru, dan orang tua. Dari tantangan tersebut,  ternyata kemudian muncul beberapa solusi nyata dan orisinil dari murid. Salah satunya, datang dari salah satu murid yang gemar berenang dan menjadi tim renang di klub renang dekat rumahnya. Ia mencermati bahwa balok start kolam renang di klub renang mereka terlalu miring dan  permukaannya terlalu licin, sehingga menurutnya itu tidak aman. Sang Murid kemudian menyusun penjelasan yang melandasi kekhawatirannya itu berdasarkan pemahamannya tentang friksi  gesekan dan gaya yang bekerja pada bidang miring. Ia khawatir  saat anak-anak menggunakan kolam renang tersebut dan mereka tidak hati-hati, maka akan berbahaya. Ia juga berkonsultasi dengan orangtua dan Pak Waluyo untuk menguatkan argumen yang disusunnya. Akhirnya, sang murid dengan bantuan Pak Waluyo membuat janji bertemu dengan pengelola kolam. Murid tersebut kemudian mempresentasikan kekhawatiran dan rekomendasi perbaikan balok star tersebut. Pengelola kolam sangat kagum dan langsung merencanakan untuk masuk segera dalam proyek perbaikan bulan mendatang. Tak lama kemudian, balok star  itu pun selesai diperbaiki.

Situasi 3 

Di masa Pandemi ini, Ibu Santi, seorang guru PAUD sangat menyadari bahwa meskipun murid-murid belajar dari rumah, murid-murid harus tetap mendapatkan pengalaman belajar yang akan membantu mereka mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak secara maksimal. Kebetulan, sekolahnya menerapkan sistem Belajar dari Rumah, yang mengkombinasikan pembelajaran sinkron dan asinkron. Di dalam jadwal pelajaran setiap harinya, akan ada waktu murid bertemu guru secara daring melalui Google Meet, namun akan ada juga waktu bagi murid-murid ini untuk melakukan kegiatan secara mandiri di rumah. Tujuannya, disamping agar murid-muridnya tidak terlalu lama berhadapan dengan layar komputer, namun yang paling penting Ibu Santi merasa murid-muridnya yang masih kecil-kecil ini perlu untuk belajar melalui kegiatan yang bersifat nyata. Bu Santi kemudian membuat rancangan aktivitas pembelajaran yang tertuang dalam bentuk ‘Choice Board’ atau “Papan Pilihan”. Choice board ini berbentuk kotak-kotak (terdiri dari 9 kotak). Di dalam setiap kotak dalam kisi-kisi tersebut, bu Santi menuliskan instruksi untuk berbagai aktivitas berbeda yang dapat dilakukan oleh murid dalam satu hari. Instruksinya  cukup sederhana dan juga dilengkapi dengan gambar.  Jenis aktivitasnya juga sederhana, namun meliputi aktivitas yang mengembangkan keterampilan kognitif, fisik- motorik, bahasa, sosial emosional, moral-agama, dan seni.  Salah satu kotak dari 9 kotak tersebut juga dikosongkan oleh bu Santi untuk memberikan kesempatan murid menentukan sendiri satu kegiatan yang ingin mereka lakukan bersama orang tua.

Beberapa contoh kegiatan yang dimasukkan dalam grid tersebut,misalnya:

di kotak 1: bu Santi meminta murid membuka dan menutup sebanyak mungkin tutup botol atau toples yang ada di rumah.
di kotak 2: bu Santi meminta murid ke luar rumah, melihat awan, dan kemudian menggambarnya.
di kotak 3: bu Santi meminta murid untuk menghitung jumlah kaus yang ada di lemari pakaiannya dan mengidentifikasi warnanya.
di kotak 4: bu Santi meminta murid untuk melihat ke dapur mereka dan mengidentifikasi ada warna apa yang mereka lihat di sana.
dsb.

Kesemua aktivitas yang diminta dapat dilakukan secara mandiri oleh murid atau dengan sedikit supervisi dari orang tua atau orang dewasa di rumah.  Choice Board dibuat oleh guru dalam bentuk yang menarik dan dikirimkan oleh guru kepada orang tua melalui grup whatsapp. Choice board ini akan dikirimkan kepada orang tua setiap minggu sekali dan akan terdiri dari choice board yang berbeda setiap harinya (ada choice board untuk Senin, Selasa, dsb). Terkadang, di choice board yang berbeda hari akan ada kegiatan yang berulang, karena ada beberapa keterampilan yang memang harus dilatih, sehingga menurut bu Santi pengulangan perlu dilakukan. Saat pertemuan di Google Meet di pagi hari, bu Santi akan menjelaskan instruksi-instruksi yang ada dalam choice board tersebut. Ibu Santi memperbolehkan murid untuk memilih kegiatan apa saja yang mereka ingin lakukan, mana kegiatan yang ingin dilakukan lebih dulu dan kapan mereka mau melakukannya. Murid juga dipersilahkan memberikan ide kegiatan pada guru yang akan kemudian dimasukkan oleh guru dalam choice board di hari berikutnya. Karena bu Santi memahami orang tua mungkin bukan guru, maka setiap akhir minggu (biasanya di hari Jumat) bu Santi juga akan meluangkan waktu untuk bertemu dengan para orang tua murid untuk menjelaskan choice board untuk seminggu ke depan. Bu Santi akan menjelaskan maksud dari setiap kegiatan yang diberikan, tujuannya dan bagaimana orang tua atau orang dewasa lain di rumah dapat membantu memastikan agar tujuan pembelajaran bisa tercapai. (misalnya: pertanyaan apa yang harus diajukan pada murid saat mereka melakukan kegiatan tersebut, panduan pengerjaannya, dsbnya). Bu Santi ingin orang tua tidak hanya memastikan murid mengerjakan aktivitasnya, tetapi juga memahami tujuan pembelajaran dibaliknya. Di hari berikutnya, saat pertemuan google meet kembali, bu Santi kemudian akan meminta murid-muridnya untuk melakukan refleksi terhadap kegiatan yang telah dilakukan di hari sebelumnya.

 Situasi 4 

Dalam masa pandemi ini, Pak Bahri, seorang kepala sekolah SMA merasa galau karena sudah selama 1 tahun ajaran, semua kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya harus dihentikan. Ia merasa murid-muridnya masih perlu melakukan berbagai kegiatan yang dapat mengasah minat dan bakat murid, meskipun di masa pandemi. Namun ia bingung, dengan segala keterbatasan di masa pandemi ini, kira-kira kegiatan apa yang menarik minat murid dan masih memungkinkan untuk dapat dilakukan secara daring. Ia kemudian mengajak murid-murid yang menjadi anggota OSIS untuk bertemu secara daring. Setelah menanyakan kabar, perasaan, dan umpan balik mereka tentang kegiatan pembelajaran daring yang selama ini dilakukan, barulah Pak Bahri kemudian menyampaikan kegalauannya. Ia tanyakan apakah murid-murid merasakan kegalauan yang sama dengannya. Dari pertemuan tersebut, ia mengetahui ternyata murid-murid juga merasakan kegalauan yang sama. Ia lalu menanyakan apakah anak-anak memiliki saran atau gagasan, bagaimana mereka dapat tetap mengadakan kegiatan ekstrakurikuler, walaupun secara daring, dan apa saja kegiatan-kegiatan yang sekiranya menarik minat murid-murid. Ternyata, murid-murid memiliki banyak sekali gagasan yang luar biasa tentang ragam aktivitas yang dapat dilakukan.  Namun, ada beberapa kegiatan yang disarankan yang sepertinya sulit untuk dilakukan, karena Pak Bahri merasa bahwa tidak ada guru yang memiliki keahlian untuk dapat mengajarkan kegiatan tersebut. Pak Bahri pun menyampaikan kesulitan tersebut kepada para anggota OSIS. Ternyata, murid-murid malah memberikan ide untuk meminta agar murid saja yang mengajar kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Mereka rupanya mengetahui ada salah satu teman mereka yang “ahli’ melakukan hal tersebut. Mereka mengatakan,  guru cukup mensupervisi kegiatannya saja, tetapi murid yang memang memiliki keahlian tersebutlah yang akan mengajarkan teknik-tekniknya. Mereka juga bahkan mengajukan diri untuk membantu membujuk anak tersebut agar bersedia menjadi ‘guru’ untuk kegiatan ekstra kurikuler tersebut. Akhirnya, atas kesepakatan bersama, mereka memutuskan untuk melakukan beberapa kegiatan ekstrakurikuler. Ada kegiatan yang diajar oleh guru, dan untuk beberapa kegiatan yang tidak dapat diajarkan oleh guru, diajarkan oleh murid-murid dengan supervisi guru. Mereka lalu mendiskusikan jadwal, sumberdaya yang diperlukan, dan pengorganisasiannya. Dibantu oleh OSIS akhirnya kegiatan tersebut dipromosikan dan ternyata, animo murid untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler tersebut sangat besar.  Pak Bahri pun merasa senang.

Situasi 5. 

Dalam satu kesempatan, sebuah SMK menjalankan pembelajaran terintegrasi berbasis proyek. Mata pelajaran normatif yang terkait adalah Bahasa Indonesia (BI), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai mata pelajaran adaptif, dan mata pelajaran Teknologi Pakan Ternak (TPK) sebagai mata pelajaran produktif. Guru pelajaran TPK menantang murid untuk mengidentifikasi potensi pakan ternak organik dari lingkungan dan masyarakat sekitar berikut permasalahannya, kemudian menawarkan solusi untuk mengembangkannya. Tawaran solusi akan dipaparkan melalui presentasi yang secara teknis akan dinilai oleh Guru TIK dan secara konten bahasa akan dinilai oleh Guru BI. Dalam perjalanan, para murid terlebih dahulu memutuskan untuk menciptakan pakan ternak organik bagi peternakan ayam negri (broiler) di sekolahnya. Selama ini pakan yang digunakan adalah pakan jadi yang dibeli oleh sekolah. Para murid kemudian mencari, dan menguji coba berbagai sumber pakan organik di sekitar lingkungan mereka dan mengolahnya menjadi pakan ayam broiler. Akhirnya, mereka pun menemukan sumber pakan yang paling cocok dan ekonomis untuk skala produksi kala itu adalah cacing sutra yang diternak cukup banyak oleh masyarakat di sekitar sekolah. Setelah beberapa uji coba, mereka juga menemukan bahwa daging ayam broiler yang mengkonsumsi pakan dengan bahan utama cacing sutra memiliki massa daging lebih banyak dibanding yang mengkonsumsi pakan ternak biasa. Sekolah melihat hal ini dan menghubungkan para murid dengan media TV lokal untuk membagikan apa yang mereka lakukan. Tak dikira, hal tersebut dianggap menarik oleh sebuah waralaba ayam goreng internasional yang beroperasi di kabupaten mereka dan memutuskan untuk menguji dan akhirnya menyatakan bahwa produk daging ayam broiler murid-murid ini layak untuk digunakan.  Para murid pun diminta untuk memasok sebagian daging ayam untuk franchise tersebut. Selain memproduksi sendiri daging ayam broiler di sekolah, para murid juga mengajak masyarakat peternak broiler di sekitar sekolah untuk menggunakan pakan buatan mereka sehingga menghasilkan volume daging yang cukup untuk memasok daging ayam ke waralaba tersebut.

 Situasi 6 

Dalam perjalanan menuju sekolah, seorang murid di sebuah SMK jurusan mesin melihat seorang ibu yang mengalami kesulitan saat memarut kelapa karena parutan sudah rusak. Melihat hal itu, murid mempunyai ide untuk dapat membantu kesulitan ibu tersebut dengan memanfaatkan alat yang ada di sekolah untuk dibuat mesin parut kelapa. Meskipun berbagai jenis  mesin parut kelapa sudah banyak tersedia, tapi murid itu berkeinginan untuk memanfaatkan bahan-bahan bekas yang dimiliki sekolahnya. Gagasan untuk membuat mesin parut sederhana kemudian disampaikan kepada Bu Sri, gurunya. Setelah mendengarkan cerita dan gagasan murid, Bu Sri menyetujui dan memberikan kesempatan pada murid untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Bu Sri meminta mereka mencari tahu dan mempelajari tentang cara kerja mesin parut yang sederhana terlebih dulu. Karena pembuatan mesin parut bukan hal yang cukup mudah, murid berinisiasi untuk bekerja bersama dengan beberapa murid. Dengan bimbingan guru mereka pun dapat mengembangkan ide dan alternatif jenis alat, bahan, cara kerja mesin yang dapat membantu pekerjaan memarut kelapa tersebut. Dalam kurun waktu kurang dari seminggu, sebuah mesin parut sederhana sudah berhasil diciptakan. Murid-murid mulai menguji cobakan jalannya mesin tersebut, ternyata ada beberapa bagian yang terasa belum bisa digunakan secara efektif dan efisien. Melihat hal tersebut, dilakukan diskusi bersama, masing-masing menyampaikan ide-ide dan mencari berbagai alternatif solusi agar mesin itu bisa bekerja dengan efektif dan efisien. Dengan menggunakan alternatif solusi dari beberapa murid, mesin itu pun diujicobakan kembali. Hasil kerja mesin tersebut ternyata dapat bekerja dengan baik sesuai yang diharapkan. Pada akhirnya murid tersebut membuat 2 mesin sederhana untuk memarut kelapa dan menyerahkan kepada ketua lingkungan setempat.  Ketua lingkungan yang diwakili oleh RT dan RW setempat mengapresiasi hasil karya murid SMK tersebut dan meminta mereka untuk berbagi keterampilan membuat mesin pemarut kelapa sederhana kepada pemuda di  Karang Taruna lingkungan. Pihak RT dan Rw menyediakan fasilitas tempat, peralatan, dan bahan-bahan yang diperlukan oleh murid-murid.   Pihak sekolah menyambut baik dan memberikan kesempatan lagi kepada murid-murid untuk mendiskusikan dan mempersiapkan kegiatan  berbagi keterampilan kepada pemuda di lingkungan  sekitar sekolah.

Analisis situasi:

Jenis Kegiatan atau program apakah yang dideskripsikan tersebut? Apakah intrakurikuler, ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler? Dalam setiap situasi, identifikasilah dibagian mana dan bagaimana guru mencoba mempertimbangkan ‘suara’; ‘pilihan’; dan ‘kepemilikan’ murid untuk mendorong tumbuhnya kepemimpinan murid.  Jelaskan jawaban Bapak/Ibu.

 

Situasi 1: kegiatan kokurikuler, Suara: meminta merancang layout lekas; pilihan: memutuskan layout yang disepakati; kepemilikan: Bersama-sama melakukan refleksi atas layout yang dipilih.

Situasi 2: Kegiatan Intrakurikuler. Suara: melakukan diskusi dan presentasi; pilihan: memilih alat/barang yang yang menerapkan prinsip pesawat sederhana dan melakukan identifikasi sesuai pilihan mereka; Kepemilikan: melakukan refleksi dan memikirkan aksi nyata.

Situasi 3: Kegiatan Intrakurikuler. Suara: Murid juga dipersilahkan memberikan ide kegiatan pada guru yang akan kemudian dimasukkan oleh guru dalam choice board di hari berikutnya; Pilihan: Ibu Santi memperbolehkan murid untuk memilih kegiatan apa saja yang mereka ingin lakukan; Kepemilikan: Bu Santi meminta murid melakukan refleksi terhadap kegiatan yang telah dilakukan.

Situasi 4: Kegiatan Ekstrakurikuler. Suara: Mendengarkan masukan dari anak-anak OSIS tentang pelaksanaan ekstrakurikuler; Pilihan: menentukan ekstrakurikuler yang akan dilakuka; Kepemilikan:  mengajak siswa mendiskusikan jadwal, sumberdaya yang diperlukan, dan pengorganisasiannya.

Situasi 5: Kegiatan Kokurikuler. Suara: mengajak siswa mengidentifikasi potensi pakan ternak organik dari lingkungan dan masyarakat sekitar berikut permasalahannya dan solusinya; Pilihan:  memutuskan untuk menciptakan pakan ternak organik bagi peternakan ayam negri; Kepemilikan: memproduksi dan memasarkan ayam mereka dan mengajak masyarakat untuk menerapkan apayang mereka lakukan.

Situasi 6: Kegiatan Kokurikuler. Suara: Bu Sri mendengarkan gagasan tentang membuat alat pemarut kelapa; Pilihan: Melakukan diskusi untuk menentukan pilihan ide dalam penyempurnaan alat; Kepemilikan: Memberi kesempatan untuk menjalin kerjasama dengan karang taruna dalam pengembangan alat lainnya.

Situasi 7: Kegiatan Kokurikuler. Suara: komunikasi dan gagasan apa yang dijual dalam kegiatan pasar; Pilihan: Kesempatan memilih peran yang akan diambil di Pasar; Kepemilikan: Dapat merasakan tanggung jawab dalam perannya dan menentukan criteria keberhasilannya sendiri.

 

 

Saturday, March 12, 2022

CONTOH JURNAL REFLEKSI PEMIMPIN DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA

 Saat ini saya sampai pada penghujung modul 3.2. modul ini cukup menantang bagi saya karena saya mulai mengenal hal baru terkait prakarsa perubahan serta modal dalam komunitas/sekolah yang dapat diberdayakan dalam menunjang berjalannya ekosistem sekolah. Nah berikut adalah sekelumit cerita yang saya alami pada minggu ini.



Thursday, March 10, 2022

KONEKSI ANTAR MATERI PEMIMPIN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA

KONEKSI ANTAR MATERI

PEMIMPIN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA


A. Sintesis Berbagai Materi

Maksud pendidikan itu adalah menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.”

 

Dalam mewujudkan pendidikan yang menuntun kekuatan kodrat anak menuju selamat dan bahagia dibutuhkan pemimpin pembelajaran yang mampu mengelola sumber daya yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah. Seperti halnya dalam pandangan KHD tentang pendidikan, sumber daya adalah “kekuatan” yang dimiliki sekolah untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut. Sebuah kekuatan/potensi yang tercermin dalam modal/aset tersebut tidak akan berdaya guna apabila tidak dikelola. Pengelolaan tersebut membutuhkan pemahaman dan cara pandang yang berbasis kekuatan sehingga semua modal dapat berdaya guna. Cara pandang yang berbasis kekuatan akan membawa vibrasi positif dalam pengelolaan ekosistem sekolah dibandingkan dengan pemikiran yang berbasis masalah. Hal ini diakibatkan karena akan membawa sikap optimis dan apresiatif terhadap apa yang ada dilingkungan kita.

Untuk mengelola sumber daya tersebut dalam pembelajaran maka seorang pemimpin pembelajaran haruslah mampu mengambil keputusan yang tepat sehingga “Maksud pendidikan” tersebut dapat terwujud. Pemimpin pembelajaran sebagai nahkoda yang menentukan arah pemberdayaan kekuatan/aset yang dimiliki. Kekuatan/aset tersebut akan sangat bermanfaat bagi jalannya pembelajaran yang mengacu pada maksud pendidikan tersebut. Semakin besar aset sebagai sebuah kekuatan maka semakin besar pula peran pemimpin pembelajaran dalam mengelolanya. Dapat dikatakan bahwa, seiring kekuatan yang besar akan datang tanggung jawab yang besar.

Sebagai pemimpin dalam pembelajaran dan pengelola aset yang bijak, maka selayaknya menuntun laku siswa dengan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Salah satu teknik yang dapat diterapkan dalam menuntun mereka sebagai anak adalah dengan menerapkan teknik coaching. Kita harus mengingat bahwa siswa adalah salah satu aset/modal dalam komunitas sehingga ketika kita telah menuntun kekuatan kodrat mereka maka kita telah mengambil peran sebagai pemimpin dalam pengelolaan aset.

Lalu, apa hubungan antara pengelolaan sumber daya dengan kualitas pembelajaran yang lebih baik? Saya teringat sebuah cerita fiksi anak-anak yakni cerita anime Naruto. Naruto diceritakan sebagai tokoh yang memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi seorang hokage (pemimpin desa) akan tetapi ia kurang cakap dalam melatih potensi dirinya. Beruntung ia bertemu dengan banyak karakter yang dapat menuntunnya untuk dapat memanfaatkan potensinya tersebut hingga ia menjadi pahlawan di desanya dan akhirnya menjadi hokage yang sangat di hormati. Dari cerita tersebut saya mengambil benang merah bahwa potensi yang besar perlu dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat, sama halnya dalam lingkungan sekolah. Ketika sekolah memiliki lingkungan yang asri dan memiliki keanekaragaman vegetasi maka hal tersebut perlu dikelola untuk menunjang pembelajaran. Kita dapat memanfaatkan lingkungan untuk mengenalkan materi pembelajaran secara kontekstual. Sebagai contoh dalam pembelajaran kimia, yakni dalam pembuatan indikator alami dengan bahan alam. Kita bisa ajak anak-anak kita berkeliling dan mencoba beberapa bunga, daun atau umbi-umbian dilingkungan kita untuk dimanfaatkan menjadi indikator alami asam basa. Nah dengan demikian, pemebalajaran yang kita rancang dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar merupakan salah satu bentuk kongkrit dari pengelolaan aset yang berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran.

Dari contoh diatas, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ada keterkaitan antara materi-materi pada modul sebelumnya dengan modul 3.2. Dalam memutuskan suatu program yang memberdayakan aset, kita perlu memahami bagaimana menjadi seorang pemimpin pembelajaran yang dapat mengambil keputusan secara bijaksana, berpihak pada murid dan mengedepankan kepentingan umum. Untuk menggali potensi sumber daya yang ada dan merancang program tersebut, pendekatan Inkuiri Apresiatif model BAGJA  dapat dijadikan acuan. Dengan pendekatan ini kita akan selalu berfikir optimis dan positif. Ketika menerapkan program tersebut dalam pembelajaran, kita tentunya akan menemukan kendala-kendala yang dihadapi siswa. Untuk keluar dari kendala tersebut kita perlu menerapkan teknik coaching untuk menuntun mereka. Kita juga perlu melakukan tindalan reflektif agar program yang telah berjalan akan lebih baik dikemudian hari. Hal ini juga sejalan dengan nilai yang kita miliki sebagai seorang Calon Guru Penggerak.

Sekarang sudah jelas bahwa dengan mempelajari modul ini akan terjadi perubahan paradigma dalam diri kita tentang memandang suatu keadaan dari berbasis masalah menjadi berbasis aset. Kita tidak lagi semata-mata memandang apa yang kurang dan perlu diperbaiki dalam ekosistem sekolah, tetapi kita berpandangan bahwa semua yang kita miliki akan bermanfaat dalam pengembangan ekosistem disekolah kita. Hal ini akan membuat kita selalu berfikir positif dan apresiatif terhadap apa yang ada dilingkungan sekolah kita.

 

B. Rancangan Tindakan

Setelah mempelajari modul ini, rancangan tindakan yang dapat diambil melihat sumber daya di lingkungan sekolah saya adalah dengan memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai laboratorium dalam pembelajaran kimia. Prakarsa  ini dilakukan mengingat lingkungan sekolah saya yang asri dan memiliki berbagai vegetasi yang dapat dimanfaatkan dalam mempelajari konsep-konsep kimia bahan alam.

Dengan menerapkan prakarsa ini harapannya adalah pembelajaran kimia menjadi kontekstual dan siswa juga dapat secara langsung mengenal bahan-bahan alam di sekitar sekolah yang dapat menunjang pembelajaran kimi. Lalu, bagaimana rancangan prakarsa tersebut dengan menerapkan pendekatan Inkuiri Apresiatif model BAGJA? Mari kita simak bersama dalam paparan dibawah ini.  

  

Saturday, February 26, 2022

Saturday, February 19, 2022

CONTOH JURNAL REFLEKSI PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

 Halo sahabat CGP, kali ini saya akan membagikan hasil jurnal refleksi mingguan saya. Kini saya telah menginjak pada minggu ke-19 dari perjalanan panjang PGP. nah, pada minggu ini saya melewati beberapa kegiatan seperti Demonstrasi Kontekstual, Koneksi Antar Materi serta Elaborasi Pemahaman. Banyak hal menarik yang saya dapatkan pada minggu ini. Lalu apa saja yang saya tampilkan pada jurnal refleksi mingguan kali ini? mari kita simak bersama-sama.



Friday, February 18, 2022

KONEKSI ANTAR MATERI PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

KONEKSI ANTAR MATERI 

PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Oleh: Kd. Dwija Negara

CGP Angkatan 3 Kabupaten Klungkung

 

“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang 

berharga/utama adalah yang terbaik”

(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best).
Bob Talbert

Kutipan diatas mengisyaratkan bahwa dalam pendidikan hendaknya bukan hanya memberikan pengajaran terkait keilmuan saja. Pendidikan yang bertanggung jawab akan memberikan bekal kehidupan untuk dapat membedakan baik buruk, benar salah sebagai landasan dalam berlaku dalam kehidupannya. Pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran sangatlah penting dalam menentukan arah pendidikan agar tercipta pembelajaran yang berharga. Dalam pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dan berpihak pada anak maka nilai-nilai kebajikan yang berlaku didalam lingkungan sekolah perlu menjadi acuan. Selain itu, prinsip-prinsip pengambilan keputusan perlu dipahami agar dapat menanggulangi dilemma yang kerap muncul dalam situasi pengambilan keputusan.

Dari gambaran tersebut, dapat terlihat bahwa guru sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya berpegang tegung pada nilai dan prinsip pengambilan keputusan tersebut. Mengapa demikian? Tentunya agar segala keputusan yang kita ambil dapat dipertanggung jawabkan dan tentunya berpihak pada murid. Hal tersebut sebagai sebuah kontribusi seorang pendidik dalam proses pembelajaran siswa yang memerdekakan murid serta berpihak pada apa yang dibutuhkan oleh murid.

Lalu, bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran?. Nah tentu kita masih ingat bahwa seorang guru layaknya petani yang menumbuhkan benih dalam ladangnya hingga tumbuh berkembang tanaman tersebut dengan sempurna sesuai dengan kodratnya. Untuk menumbuhkan benih jagung, seorang petani harus mampu memutuskan kapan waktu siram, kapan waktu pupuk dan kapan perlu disiangi. Bukan hanya itu, petanipun harus mampu menentukan jenis pupuk yang tepat digunakan pada usia tanam tertentu serta menentukan waktu pemupukan yang baik. Terkadang, seorang petani dihadapkan pada dilema ketika beberapa hama menyerang. Apakah penggerek batang yang dihalau terlebih dahulu, ataukah gulma yang mulai menjalar merebut nutrisi? Lalu, adakah opsi lain yang mungkin untuk menghalau keduanya bersamaan? Pengujian atas keputusan perlu dilakukan oleh petani agar segalanya dapat berjalan dengan baik. Berpijak dari gambaran tersebut tentunya kita paham bagaimana seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu menuntun kekuatan kodrat sang anak agar tumbuh kuat berkembang dengan keputusan-keputusan yang diambilnya.

Jika dikaitkan dengan nilai-nilai seorang guru penggerak tentunya pengambilan keputusan memiliki landasan yang sama yakni “Berpihak Pada Murid”. Nilai utama seorang guru penggerak tentunya kembali kepada apa yang dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan siswa melalui upaya yang mandiri, inovatif dan kolaboratif, serta selalui merefleksi apa yang menjadi keputusannya. Hal ini dapat digambarkan pada gambar dibawah.


Gambar 1. Diagram hubungan antara nilai guru penggerak, PSE dan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran.

Dari gambaran diatas, terlihat jelas bahwa dengan mengamalkan nilai-nilai guru penggerak maka keputusan yang kita ambil akan bertanggung jawab menuju keputusan yang berpihak pada murid. Selanjutnya, agar keputusan yang kita ambil dapat beretika maka perlu menerapkan Pendidikan Sosial Emosional sebagai bentuk kepekaan terhadap diri (Kesadaran diri dan pengelolaan diri), kepekaan terhadap nilai-nilai di lingkungan sekolah (Kepekaan Sosial) serta kemampuan untuk berelasi dengan rekan kerja. Dengan menerapkan hal-hal tersebut, keputusan yang diambil merupakan keputusan yang beretika dan bertanggung jawab.

Kembali kepada pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, kita perlu memperhatikan 3 hal dasar pengambilan keputusan. Ketiga dasar tersebut yakni nilai kebajikan, kepentingan murid serta tanggung jawab.

Gambar 2. Segi tiga dasar pengambilan keputusan

Nilai-nilai kebajikan di lingkungan sekolah perlu kita pertimbangkan dalam menentukan suatu keputusan agar keputusan yang diambil memenuhi kepentingan murid sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai pemimpin pembelajaran. Dalam pengambilan keputusan tersebut terkadang kita ada dalam kebimbangan akibat munculnya dilema etika dan bujukan moral.

Untuk menentukan keputusan secara bijak dalam menghadapi dilema etika (benar lawan benar), kita perlu memahami paradigma dilema etika dan prinsip penyelesaian dilema etika seperti yang digambarkan pada gambar dibawah.

 

Gambar 3. Paradigma dan prinsip dalam memandang dan mengatasi dilema etika

Selain itu, perlu juga menerapkan 9 langkah pengujian keputusan yang terdiri dari mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan, menentukan siapa yang terlibat, mengumpulkan fakta-fakta, pengujian benar atau salah, pengujian paradigm, melakukan prinsip resolusi, investigasi opsi trilema, penentuan keputusan serta refleksi terhadap keputusan yang telah diambil. Dalam tahap pengujian ini diperlukan keterampilan bertanya kepada diri sendiri ataupun sosok tokoh yang menjadi panutan agar memperoleh keputusan yang terbaik. Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang efektif, kita perlu mengingat dan memahami kembali teknik coaching sehingga mampu memunculkan potensi-potensi yang ada sebagai kekuatan dalam penentuan keputusan terbaik. Dengan teknik bertanya dengan metode coaching maka akan tergali potensi, terarahnya pengujian sehingga memungkinkan munculnya opsi yang mungkin lebih baik lagi dalam pengambilan keputusan yang dikenal dengan opsi trilema.

Hal yang mungkin menjadi kesulitan-kesulitan dalam menerapkan prinsip pengambilan keputusan tersebut adalah adanya perubahan paradigm yang baru ini dalam keseharian kita. Untuk mengatasi kesulitan yang timbul tentunya kita memerlukan rekan berdiskusi sebagai mitra dalam menerapkan prinsip tersebut. Seorang rekan yang tepat kita jadikan sebagai teman berdiskusi adalah Ia yang memiliki satu visi dengan kita sehingga dalam berlatih menerapkan prinsip pengambilan keputusan tersebut didang menimbulkan permasalahan lainnya.

Nah, kini jelas sudah bahwa pada dasarnya dengan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dan bijaksana maka pemimpin pembelajaran dapat memberikan pendidikan yang berpihak kepada murid. Apa yang menjadi kebutuhan murid dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan. Nilai-nilai kebajikan di lingkungan sekolah dapat dijadikan pedoman, serta pengujian keputusa patut dilakukan dengan penuh kesadaran dan menggali potensi-potensi yang ada melalui pertanyaan-pertanyaan, sehingga muncul keputusan yang memuliakan kebutuhan sang anak sebagai wujud kemerdekaan atas kodrat anak yang wajib ditumbuhkan dan dikuatkan.